Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Guna menunjang pengelolaan kawsan taman wisata alam tersebut diperlukan
Hutan Riau sedang mengalami proses kehilangan yang cukup luas akibat dari perubahan fungsi hutan dan dikonversi untuk berbagai tujuan diantaranya untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit, pertambangan dan pemukiman. Namun demikian, di beberapa kawasan masih terdapat hutan yang relatif luas yang perlu dijaga, selain kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo,Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan lainnya. Salah satu kawasan hutan tersebut terdapat di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat merupakan salah satu alternatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang saat ini sedang mengalami keterpurukan, sebagai akibat akumulasi dari kesalahan pengurusan di masa lalu. Pengelolaan pengurusan yang sektoral dan sentralistik dan tidak memperhatikan prinsip pengelolaan berkelanjutan penyumbang kerusakan kawasan hutan kita. Mengganti sistem yang akan memberikan alternatif ataupun sistem yang selama ini digunakan, bukanlah hal yang mudah dan dapat dipahami secara keseluruhan. Namun untuk kepentingan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan, prasyarat utama yang tidak bisa ditawar lagi adalah pilihan terhadap sistem pengelolaan yang dapat memenuhi aspek ekonomi, ekologi dan equity. Bangkitnya pilihan baru dalam pembangunan kehutanan juga disebabkan oleh pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup mampu memenuhi prasyarat utama tersebut.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berarti mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Juga mengandung arti bahwa masyarakat dengan segala kemampuan yang ada mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu status penguasaan atas lahan menjadi sangat penting dalam pengembangan kehutanan masyarakat. Berangkat dari berbagai persoalan yang selama ini dihadapi masyarakat yang hidup di kawasan pinggiran hutan, para tokoh masyarakat dan ninik mamak serta pemangku adat di sekitar kawasan hutan ulayat di Desa Buluh Cina sepakat untuk menjadikan kawasan hutan sebagai perekat bagi keutuhan masyarakat dalam suatu kebersamaan.
Maret 2004 lalu, ninik mamak, pemerintahan desa dan ketua Lembaga Musyawarah Besar (LMB) Buluh Cina menyerahkan lahan ulayat seluas 1.000 ha kepada Gubernur Riau. Penyerahan ini diiringi harapan bahwa pemerintah Kabupaten Kampar dapat membangunkan kebun kelapa sawit seluas 1.500 ha dalam satu hamparan yang berada di bagian selatan tanah ulayat yang diserahkan. Harapan lainnya adalah pemerintah dapat membangun sarana dan pra sarana di kawasan hutan sehingga memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian masyarakat adat pemilik hutan ulayat tersebut. Kekhawatiran melihat kondisi hutan di wilayah Riau yang semakin lama semakin habis merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat Buluh Cina untuk melindungi kawasan hutan tersebut. Berlandaskan pada pemikiran bahwa jika tidak dijaga, maka hutan mereka pun akan habis untuk itu perlu dukungan dari pihak Pemerintah Daerah Riau sebagai landasan hukum formal untuk memperkuat tujuan dan keinginan masyarakat tersebut.
Harapan ini pun disambut oleh pemerintah provinsi Riau dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi taman wisata alam. Hutan Buluh Cina merupakan Hutan Produksi Terbatas yang sebagian kawasan hutan ini telah diubah dan ditunjuk menjadi Kawasan Taman Wisata Alam dengan Keputusan Gubernur Riau Nomor 468/IX/2006 tanggal 6 September 2006 tentang penunjukan kelompok hutan Buluh Cina di Kabupaten Kampar Provinsi Riau seluas 1.000 Ha sebagai kawasan taman wisata alam.
Sebagai lembaga yang bergerak di bidang konservasi, maka WWF Indonesia sangat mendukung langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Lembaga Musyawarah Besar
tersebut. Awal mula keterlibatan WWF dalam mendukung upaya yang dilakukan oleh masyarakat di desa Buluh Cina dimulai sekitar tahun 2004-2005, ketika bpk. Makmur Hendrik (Ketua Lembaga Musyawarah Adat Nuluh Cina) bertemu dengan manajemen yayasan WWF Indonesia. Dalam kesempatan itu, bp Makmur Hendrik mengutarakan niatnya meminta dukungan lembaga konservasi dalam upaya pelestarian hutan ulayat
masyarakat. Langkah in kemudian dilanjutkan oleh WWF Program Riau pada September 2006 dengan melakukan pertemuan dengan ketua dan para pemuka adat Buluh Cina Kenegerian Enam Tanjung beserta masyarakat di desa Buluh Cina.Guna menunjang pengelolaan kawsan taman wisata alam tersebut diperlukan
pengamanan dan pembangunan sarana dan prasarana. Pengelolaan kawasan yang efektif dilakukan bertujuan untuk menjamin dan memelihara keutuhan keberadaan kawasan dan ekosistemnya, potensi dan nilai-nilai keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas, ekosistem penyusun kawasan, pemanfaatan kawasan secara optimal, lestari dan bijaksana untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan pariwisata alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kerjasama yang bergulir kemudian antara WWF dan masyarakat Buluh Cina adalah berupa bantuan operasional dan infrasrtuktur yang mendukung upaya perlindungan kawasan hutan tersebut. selain itu, WWF dan pihak masyarakat Buluh Cina bersepakat untuk membentuk gugus tugas pengamanan kawasan hutan ulayat di kawasan hutan wisata tersebut sesuai tugas pokok dan fungsi lembaga yang terlibat. Satuan tugas akan melibatkan masyarakat desa terutama kaum pemuda dibawah bimbingan lembaga adatnya.
0 komentar:
Posting Komentar