MERAUP RUPIAH DARI SILAIS DAN BAUNG

Ikan selais dan baung dapat dimanfaatkan sebagai komoditi. Kedua jenis ikan ini juga bisa dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi. Masyarakat Desa Tamiang Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis dan Desa Tasik Betung Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak, melihat potensi tersebut sebagai penambah pendapatan mereka. .

Sosialisasikan Cagar Biosfer Lewat Blog

CAGAR Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSK-BB) kini juga disosialisasikan melalui media internet. Tentunya di era kemajuan teknologi ini akses tercepat untuk mendapatkan informasi adalah melalui internet.

Tingkatkan Program Budidaya di Cagar Biosfer'

Suatu kawasan akan mempunyai kontribusi bagi manusia, apabila budidayanya baik. Karena dengan adanya budidaya itulah suatau kawasan dapat berkembang. Demikian halnya yang dilakukan oleh Sinarmas Forestry (SMF) terhadap Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB).

Riau Miliki Pengolahan Air Gambut Terbesar

BUKITBATU (RP)- APAG 60 atau Alat Pengolaan Air Gambut 60 yang dipasang di Tanjungleban, Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau merupakan alat pengolahan air gambut terbesar di Indonesia

SAM KEHUTANAN RESMIKAN SEKRETARIAT CAGAR BIOSFER

GSKBB - Staf Ahli Menteri (SAM) Kehutanan Dr Agus Mulyono meresmikan pemakaian Sekretariat Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB).

Selasa, 30 Oktober 2012

Buaya Muara, Hewan Ganas yang Mematikan

BUAYA Muara (Crocodylus porosus) secara umum bentuk tubuhnya menyerupai Buaya Air Tawar Papua (Crocodylus novaeguineae), dengan moncong yang lebih lebar. Perbedaan mendasar terdapat pada tengkuknya yang tidak memiliki sisik lebar serta warna kulitnya yang lebih terang.
Selain itu ukuran tubuhnya adalah yang paling besar diantara jenis lainnya dengan panjang yang mampu mencapai 7 (tujuh) meter hingga 12 (duabelas) meter seperti yang pernah ditemukan di Sangatta, Kalimantan Timur. Buaya Muara (Crocodylus porosus) tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan.
Satwa ini dapat hidup di darat, di dalam air maupun di atas pohon. Bergerak kesana-kemari dengan cara melata, baik dengan dua pasang kakinya maupun tidak sama sekali. Famili Crocodylus ini senang berpetualang dari satu habitat ke habitat lain, maka tak heran populasinya menyebar di pelosok dunia. Buaya Muara dikenal sebagai buaya terbesar di dunia, jauh lebih besar dari Buaya Nil (Crocodylus niloticus) dan Aligator Amerika (Alligator mississipiensis).
Buaya Muara (Crocodylus porosus) tersebar di banyak negara seperti Papua Nugini, Australia Utara, Kepulauan Pasifik, Brunei, Myanmar, Kamboja, Filipina, Burma, India, Srilanka, Cina, Semenanjung Malaya, hingga Indonesia. Tapi di setiap negara populasinya makin merosot tajam sejak kulitnya diburu untuk dijual. Sehingga saat ini Buaya Muara (Crocodylus porosus) masuk ke dalam kategori Appendix 2 versi CITES.(dac/int)

Senin, 22 Oktober 2012

Kerusakan Hutan, Ancaman Kelestarian Populasi Burung

NYARIS PUNAH: Treron Curvirostra jenis  burung yang nyaris punah keberadaannya.(Ft.Diah_GSJ)

INDONESIA memiliki keanekaragaman burung yang tinggi. Hal ini terbukti dari catatan dunia ilmiah tahun 2009 yang menyatakan bahwa jenis burung yang terdapat di Indonesia adalah 1598 jenis. Dari jumlah tersebut banyak terdapat jenis burung yang khas dan tidak ditemukan di belahan dunia lain.
Namun kelestarian burung sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan. Jumlah areal luasan hutan yang semakin berkurang dengan adanya kegiatan illegal loging maupun izin pemanfaatan hutan secara tak terkendali dapat mengancam keberadaan fauna burung.
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSK-BB) merupakan salah satu hutan yang masih tersisa di Provinsi Riau. Keberadaan GSK-BB sangat berperan penting dalam menjaga kelestarian keanekaragaman burung. Bahkan GSK-BB juga merupakan salah satu tempat persinggahan bagi burung-burung yang berasal dari Negara-negara subtropis seperti Jepang, pada saat musim dingin.
Masih banyaknya ancaman perambahan hutan di GSK-BB juga menjadi ancaman bagi spesies burung yang ada di Riau. “Hutan alam di wilayah inti Cagar Biosfer GSK-BB merupakan tempat atau rumah bagi banyak spesies burung hutan yang bergantung pada hutan alam tersebut. Beberapa diantaranya bahkan mengalami resiko penurunan populasi. Berdasarkan hasil pengamatan selama 1 tahun terakhir ini jumlah spesies burung yang dijumpai di wilayah GSK-BB khususnya daerah Suaka Margasatwa Bukit Batu yaitu 172 spesies burung,” jelas Dendy Sukma Haryadi, mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang baru saja menyelesaikan program studinya.
Dendy juga menambahkan, bahwa spesies-spesies burung hutan (burung spesialis hutan alami) tidak dapat dijumpai pada wilayah zona transisi dan zona penyangga dari cagar biosfer GSK-BB dimana vegetasi yang dijumpai merupakan vegetasi antropogenik (vegetasi yang telah berbeda dari kondisi alaminya karena ada campur tangan manusia-Red).
Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi antropogenik tidak dapat mendukung kebutuhan hidup dari spesies burung hutan. Sementara hutan di Indonesia mengalami deforrestasi mencapai 3,22 persen per tahun pada periode 1997 sampai 2005 yang tentunya sangat mempengaruhi kelestarian burung-burung di Indonesia.
Menilik keanekaragaman jenis burung yang masih tersisa di GSK-BB, Dendy menyatakan bahwa dari 172 jenis burung yang dijumpai di GSK-BB saat ini, 3 spesies tercatat sebagai “vulnerable species”atau spesies yang menghadapi resiko kepunahan yang tertinggi.
Selain itu International Union for the Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN)Red List 2011 juga mencatat,adanya spesies burung Puyuh hitam (Melanopedrix niger), Sempidan merah (Lophura erythrophthalma) dan Empuloh paruh-kait (Setornis criniger), dan 32 spesies lainnya masuk dalam kategori “Near-threatened species” atau spesies yang hampir punah seperti Betet ekor panjang, Nuri tanau, Kadalan beruang, Luntur Kasumba, Luntur Diardi, Luntur Putri, Julang jambul hitam, Kangkareng hitam, Enggang cula, Enggang papan, Rangkong gading, Takur, Caladi badok, Sempur hujan darat, Sepah tulin, Cipoh jantung, Cica daun kecil, Cucak rumbai kuning, Brinji bergaris, Pelanduk merah, Pelanduk dada putih, Asi topi jelaga, Asi besar, Asi dada kelabu, Kucica ekor kuning, Seriwang jepang, Pentis kumbang.    
Besarnya keanekaragaman burung yang terdapat di GSK-BB tak lepas dari syarathidup ideal bagi burung-burung yang masih dimiliki oleh  GSK-BB. (diah-gsj/dac)

Keanekaragaman Paku-pakuan

PAKU-PAKUAN:Paku-pakuan  salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang menambah keanekaragaman GSK-BB.(Ft.Diah_GSJ)

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSK-BB) merupakan cagar biosfer ketujuh yang memiliki karakteristikan dan berbeda dari agar biosfer lainnya di Indonesia. Keunikan GSK-BB disebabkan karena di dalamnya terdapat berbagai  ekosistem. Diantaranya adalah hutan rawa gambut, tasik-tasik dan berbagai sumber daya alam lainnya.
Beragamnya jenis ekosistem di GSK-BB mempengaruhi keanekaragaman jenis  flora dan fauna yang menghuninya. Paku-pakuan merupakan salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang menambah kekayaan keanekaragaman GSK-BB. Meskipun kita sering melihat tumbuhan yang masih tergolong tumbuhan tingkat rendah ini, namun kita sering tidak menghiraukannnya dan menganggapnya sebagai tumbuhan yang kurang penting.
“Tumbuhan ini termasuk tumbuhan pioner yang mampu tumbuh sebelum jenis lain tumbuh. Selain itu, paku-pakuan juga berperan sebagai penyedia oksigen, penyerap air, habitat hewan kecil dan indikator lingkungan,” jelas Eka Indra Haryanti yang mencoba mengungkap manfaat tumbuhan berpembuluh yang tidak menghasilkan biji ini.
“Selain itu, kini banyak jenis paku-pakuan yang telah dijadikan sebagai tanaman hias,” tutur Eka menambahkan.
Dalam penelitiannya, Eka yang tengah melakukan penelitian di Zona Penyangga dan Zona Transisi GSK-BB mencoba mengungkapkan manfaat lain dari tumbuhan paku. Seperti paku ekor kuda (Equisetum debile), paku tanduk rusa (Platyceriumcoronarium) dan paku suplir (Adiantum sp) sebagai tanaman hias, Diplaziumesculentum dapat dijadikan sebagai sayuran, untuk pembuatan pupuk hijau seperti Azollapinnata serta sebagai pelindung tanaman di persemaian seperti Gleichenialinearis. “Pemanfaatan tumbuhan paku sebagai sumber obat tradisional juga telah banyak dilaporkan. Seperti halnya paku resam (Gleichenialinearis) yang mana remasan daunnya digunakan untuk obat luka dan seduhan daunnya digunakan untuk obat demam. Dari manfaat paku-pakuan tersebut, Eka yang merupakan mahasiswi tingkat akhir jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Riau (FMIPA UR) ingin menggali keanekargaman paku-pakuan di GSK-BB.(diah-gsj/dac)

Hylarana Rawa Miliki Perbedaan Jarak Genetik

Hylarana Rawa: Katak Langka yang ditemukan Giam Siak Kecil dengan perbedaan jarak genetik.(Ft Internet)

PENEMUAN  Spesies Katak Baru di Giam Siak Kecil Spesies katak baru dari genus atau marga Hylarana berhasil diidentifikasi peneliti. Katak ini ditemukan di rawa-rawa gambut yang ada di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, bagian dari Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu di Riau, sebuah provinsi di bagian tengah Pulau Sumatera.
Spesies katak baru bernama Hylarana Rawa yang diidentifikasi oleh Masafumi Matsui dari Kyoto University serta Mumpuni dan Amir Hamidy dari Pusat Riset Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu sudah dipublikasikan di the Herpetological Society of Japan pada Juni 2012.
Amir Hamidy menjelaskan menurut hasil analisis molekuler spesimen katak yang diteliti memiliki perbedaan jarak genetik cukup besar yakni antara 13,9 persen dan 15,7 persen dari jenis-jenis lain sekerabatnya sehingga dikategorikan sebagai jenis baru.
“Umumnya jarak genetik di gen 16 SRNA antar jenis katak hanya tiga persen sampai empat persen. Penemuan ini sangat menguatkan bahwa spesimen ini merupakan jenis baru,” kata Amir, peneliti LIPI yang sedang belajar di Kyoto University, Jepang.
Para peneliti selanjutnya juga mencari karakter morfologi yang membedakan katak jenis baru itu dengan katak jenis-jenis lain yang sekerabat, dan berhasil mengidentifikasi salah satu karakter seks sekunder pada spesimen katak jantan yakni keberadaan kelenjar di lengan atas atau humeral gland yang sangat besar dibandingkan dengan ukuran badannya.
    Selain memiliki humeral gland yang merupakan ciri seks sekunder katak jantan beberapa marga, katak jenis baru itu juga memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil untuk ukuran katak dewasa marga Hylarana, serta selaput kaki yang minimum.
“Karena bukti-bukti kuat telah kami temukan selanjutnya kami mendiskripsikannya sebagai jenis baru. Jenis baru ini kami beri nama Hylarana rawa. Nama spesies ini kami ambil dari kata ‘rawa’ yang merupakan habitat dari jenis ini,” jelasnya.
    Habitat Hylarana rawa merupakan rawa gambut yang pH-nya cukup rendah (asam). Tidak semua jenis katak bisa hidup di daerah rawa gambut yang asam, hanya jenis-jenis tertentu saja yang bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti itu.(melati-gsj/dac)

Askul Tinjau Lokasi Penanaman Jelutung

SELASA (11/7) lalu Green Student Journalists (GSJ) mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) khususnya di Resort Bukit Batu.
Selain GSJ juga hadir tiga orang Jepang, dua dari pihak Askul yakni Shunichiro Azuma dan Hideshi Kitamura serta satu dari pihak Asia Pulp and Paper (APP) Jepang yakni Koichi Morizumi. Sebagai konsumen produk APP pihak Askul ini bertujuan untuk melihat lokasi penanaman Jelutung yang ditanam di Resort Bukit Batu sejak November tahun lalu.
Menurut Johannes Koto, Forest Conservation Sinarmas Forestry penanaman jelutung yang dilakukan oleh Sinarmas dan Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) ini merupakan simbiosis mutualisme.
“Jelutung ini ditanam bertujuan untuk membantu masyarakat setempat juga, jadi di sini kita mengharapkan masyarakat nantinya juga bisa mengambil manfaat dari jelutung ini sehingga masyarakat tidak perlu merambah hutan,” ungkap Johanes Koto.
Jelutung ini sendiri bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal seperti getahnya bisa digunakan untuk kosmetik atau kayunya bisa digunakan untuk batang pensil. Untuk menuju lokasi penanaman jelutung tersebut digunakan speed boat, karena lokasi penanaman berada di tepi sungai yang ada di sekitar cagar biosfer Bukit Batu.
Berdasarkan keterangan dari Syamsudin, Ketua KMPH luas dari masing-masing lokasi tersebut antara lain, lokasi pertama memiliki luas 0,375 hektare sementara lokasi kedua seluas 0,75 hektare. Sedangkan lokasi ketiga memiliki luas 2,25 hektare dan lokasi keempat memiliki luas 3 hektare. Jelutung-jelutung tersebut ditandai dengan batang kayu bercat merah disebelahnya.
Dari ke empat lokasi penanaman tersebut memiliki perbedaan antara lokasi yang satu dengan yang lainnya. Jelutung yang ditanam pada lokasi pertama dan kedua tampak tidak terlalu subur, bahkan juga ada beberapa yang mati. Berbeda dengan jelutung di lokasi keempat yang tampak cukup subur.
“Memang terlihat perbedaan yang signifikan, karena jelutung memang biasanya tumbuh subur di tanah rawa yang sedikit lebih basah. Dan dari lokasi-lokasi tersebut pada lokasi keempat tanahnya memang lebih basah dibandingkan yang lainnya,” ungkap Iwan Setiawan dari Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) yang juga ikut bersama rombongan.
Lokasi terakhir (lokasi empat, red) tersebut ditanam pada akhir Juli lalu. Pada lokasi keempat ini jelutung ditanam dengan jarak antar tanaman seluas 5x3 meter. (afra-gsj/dac)


CTPRC Bahas Ekowisata Cagar Biosfer


CENTER  for Tropical Peat Swamp Restoration and Conservation (CTPRC) bersama pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Kamis (27/9) lalu membahas tentang persiapan kegiatan Ekowisata dan tindak lanjut program penguatan model desa konservasi dan biovillage.
Salah satu materi penting yang dibahas dalam pertemuan yang diadakan di kantor BBKSDA tersebut, adalah tentang rencana survey check point dan juga menetapkan target peserta serta sosialisasi kegiatan tersebut.
“Diskusi kali ini diadakan untuk menjajaki kritikal poin dan hal-hal yang dianggap perlu untuk dipersiapkan dalam ekowisata nanti,” ujar Direktur CTPRC, Haris Gunawan.
Ekowisata yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada November mendatang, merupakan kerjasama antara CTPRC Indonesia, LIPI, Universitas Riau, Universitas Lancang Kuning, serta BBKSDA Riau sebagai tuan rumah yang berwenang terhadap kawasan Cagar Biosfer Giam Siak kecil-Bukit Batu.
Ekowisata ini akan di fokuskan ke Cagar Biosfer blok Bukit Batu, mengingat kawasan tersebut saat ini terancam degradasi, yakni penyusutan lahan gambut, terutama terjadi pada lahan gambut dengan ketebalan dalam (kubah gambut) dan lahan dengan ketebalan sedang.
Menurut data yang dimiliki CTPRC, saat ini kondisi blok hutan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Batu sangat mengkhawatirkan. Karena sebagian besar kondisi hutan dan lingkungan telah berubah. Di beberapa tempat telah menjadi hutan belukar, sungai dan air hitam yang keruh, dan perubahan tutupan hutan menjadi kebun karet masyarakat, terutama di sepanjang tanggul-tanggul sungai.
Kondisi tersebut akan mengancam keunikan ekosistem dan fungsi-fungsi lingkungannya dimasa datang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka CTPRC dan mitra melakukan usaha-usaha yang sistematis dalam rangka menyelamatkan ekosistem hutan rawa gambut tropis di blok hutan SM Bukit Batu. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh CTPRC adalah menanami kembali kawasan tersebut dengan beberapa tanaman aslinya salah satunya adalah jelutung.
Selain itu saat ini CTPRC bersama mitra sedang mengembangkan desa biovillage. Konsep biovillage ini memandang keberadaan SDM dan SDA sebagai aset suatu daerah yang dapat dijadikan modal primer dalam menggerakkan perekonomian daerah tersebut.
Saat ini Desa Temiang menjadi desa model biovillage yang dikelola CTPRC, karena desa tersebut terletak di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis dan berbatasan langsung dengan SM Bukit Batu. Selain itu, beberapa masyarakat desa tersebut juga memiliki ketergantungan terhadap kawasan dengan mencari ikan di sungai bukit batu. Beberapa masyarakatnya juga memiliki lahan yang ditanami karet dan lahan tersebut berada di kawasan SM Bukit Batu.
Menurut keterangannya, penyelenggaraan ekowisata hutan rawa gambut tropis ini merupakan salah satu usaha dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat pada umumnya terhadap pentingnya melestarikan ekosistem alami hutan rawa gambut tropis di Riau. Selain itu juga diharapkan ekowisata tersebut akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi dan mendorong peran serta partisipasi masyarakat Desa Temiang dalam usaha penyelamatan ekosistem hutan rawa gambut tropis.
Paket ekowisata tersebut diharapkan akan menjadi semacam promosi dengan mengkombinasikan antara wisata budaya dan kuliner, yakni mengunjungi istana Siak dan mencicipi makanan khas di kabupaten Siak. Wisata pendidikan dengan pengenalan hutan rawa gambut dan usaha-usaha restorasi di lokasi SM Bukit Batu dan tanjung leban.
Kemudian wisata adventure dengan sungai dan tasik yang ada di dalam kawasan SM Bukit Batu. Dan yang terakhir adalah wisata desa biovillage yang sedang dikembangkan oleh CTPRC bersama LIPI dan MDK BBKSDA di Desa Temiang.
Saat ini peserta yang sudah menghubungi panitia sudah melebihi jumlah kuota maksimal. Menanggapi hal itu Syahimin, Kepala bidang konservasi BBKSDA Riau mengungkapkan bahwa berapapun peserta ekowisata ini akan ditampung, mungkin akan ada alternatif dengan mengadakan ekowisata gelombang kedua.
Pihak BBKSDA dan CTPRC juga telah membentuk Task Force Ekowisata yang akan turun langsung kelapangan pada pertengahan Oktober nanti untuk mempersiapkan objek-objek wisata yang kelak di kunjungi dalam ekowisata November mendatang. Dalam kegiatan ekowisata tersebut panitia juga mengadakan lomba fotografi lingkungan yang bisa diikuti oleh seluruh peserta.
Kegiatan ini diharapakan nantinya akan menjadi laboratorium alam dengan keunikan dan permasalahannya, serta sebagai usaha untuk mempromosikan hamronisasi lingkungan dan masyarakat. Bagi yang berminat untuk menjadi peserta, panitia masih membuka kesempatan. Bisa dengan menghubungi pihak BBKSDA Riau, kemudian juga bisa langsung datang ke sekretariat CTPRC di jalan Manlau Permai No F 11 Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang KM 11.5, atau juga bisa menghubungi Green Student Journalists via email di Greenstudentjournalists@gmail.com. (asrul-gsj/dac)


Lima Cagar di Indonesia Siap Di-review

PENGELOLAAN kawasan konservasi internasional atau cagar biosfer di Indonesia merupakan tugas yang berkelanjutan. Sebab setiap periode tertentu cagar biosfer harus di review atau ditinjau ulang. Hal itu disebut dengan periode review. Profesor Yohannes Purwantor, Direktur Man and Biosphere (MAB) Indonesia menyatakan bahwa saat ini terdapat lima kawasan cagar biosfer yang sedang dalam proses periode review.
Lima cagar biosfer di Indonesia yang sedang mendapatkan periode review adalah Cagar Biosfer Tanjung Puting, Cibodas, Komodo, Gunung Leuser dan Pulau Siberut. “Ini sedang berjalan prosesnya,” ungkap Purwanto ketika dihubungi GSJee (4/10) kemarin.
Ia juga menjelaskan bahwa periode review ini merupakan bagian dari proses penjagaan kawasan cagar biosfer sehingga bisa terus berkelanjutan. Beberapa hal yang diperhatikan ketika melaksanakan proses review adalah sistem zonasi cagar biosfer.
Sistem zonasi cagar biosfer terdiri dari tiga bagian, zona transisi (transition zone), zona penyangga (buffer zone) dan zona inti (core zone).
Masing-masing zona saling bersinergi satu sama lain membentuk sebuah kawasan konservasi yang utuh yaitu cagar biosfer. Purwanto juga menjelaskan bahwa jika salah satu sistem zonasi di cagar biosfer rusak maka zona-zona yang lainnya akan turut rusak. Proses review dibutuhkan untuk memastikan bahwa sistem zonasi tetap bertahan di setiap cagar biosfer.
Selain itu, periode review juga meninjau tentang sistem manajemen pengelolaan cagar bisofer, implementasi pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar dan lingkungan serta keanekaragaman hayati yang terus berkembang dikawasan konservasi tersebut.
“Untuk keanekaragaman hayati kita melihat apakah terus bertambah atau meningkat jumlahnya di masing-masing cagar biosfer. Sebab seperti tujuan awalnya cagar biosfer merupakan sarana untuk kelestarian keaneragaman hayati,” terang Purwanto.
Sementara untuk jangka waktu periode review sendiri, Purwanto menjelaskan bahwa review akan dilakukan tiga sampai sepuluh tahun sekali. “Tergantung pada permintaan pihak-pihak terkait yang membutuhkan tentang perkembangan cagar biosfer tapi biasanya setiap tiga sampai sepuluh tahun sekali setiap cagar bisofer sudah harus di-review kembali,” ujarnya.
Ketika ditanya tentang masa review Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB), Purwanto menjelaskan bahwa Cagar Bisofer GSK-BB akan di-review tahun 2014 nanti. “Tapi bisa saja lebih cepat jika ada permintaan dari pemerintah atau stake holder terkait,” ulasnya.(tya-gsj/dac)


Unri Fasilitasi Wisata ke SM Bukit Batu

Universitas Riau (Unri) turut aktif menfasilitasi kegiatan wisata alam dan budaya ke Suaka Marga Satwa (SM) Bukit Batu yang sekarang telah menjadi bagian dari Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB). Hal itu di sampaikan oleh Haris Gunawan, dari Center Tropical Peat Swamp Restoration and Concervation (CTPRC) Indonesia kepada GSJ (10/10).
‘’Unri telah memastikan diri untuk menfasilitasi kegiatan taskforce sebagai persiapan pelaksanaan kegiatan wisata alam dan budaya ke Suakamargasatwa Bukit Batu,’’ terang Haris begitu ia kerap disapa.
Unri telah memberi bantuan dana sebesar lima juta rupiah beserta dua unit mobil yang akan digunakan untuk perjalan peserta dari Pekanbaru ke SM Bukit Batu, tambahnya.
Sementara dana tersebut akan digunakan untuk persiapan infrastruktur kegiatan. Antara lain, rehabilitas sundak research shelter, ‘’Ini akan menjadi lokasi penginapan sebagian peserta wisata alam dan budaya selama di Bukit Batu,’’ jelas Haris.
Berikutnya dimanfaatkan untuk pencucian jalur sungai. Jalur itu akan dilewati oleh peserta kegiatan. ‘’Saat ini jalur sungai yang akan dilewati speedboat menuju Sundak Research Shelter telah ditumbuhi sejenis pandan air yang berduri, hal itu tentu saja menghalangi perjalanan sehingga harus dibersihkan,’’ tuturnya Bapak dua anak ini.(tya-gsj)

Unri Ajak Lestarikan Gambut

SUNGAI air hitam dan tanah gambut yang selalu basah. Betapapun keringnya kala musim kemarau panjang, ia seperti mangkuk raksasa sebagai tempat menyimpan air saat musim hujan. Ia yang menjaga ketersediaan air kala musim kering tiba, merupakan sistem alam yang luar biasa. Terjaganya sistem alam yang bekerja memberikan jaminan akan ketersediaan air dan mencegah bencana banjir kapanpun itu musimnya.  Tanah gambut yang terbentuk ribuan tahun lalu, seakan mutiara hitam yang menyimpan potensi batubara jutaan kubik pada masanya nanti, walaupun sekarang masih mengakumulasi dalam bentuk simpanan karbon yang bernilai jutaan dolar ketika era perdagangan karbon tiba. Belum lagi keunikan formasi dan kekayaan hutan yang terbentuk mengikuti tingkat kedalaman gambut.   Semakin dalam gambut (dome), semakin jarang dan kecil-kecil diameter pohon hutannya. Belum lagi keunikan berbagai hewan endemik. Gambaran sempurna keutuhan ekosistem alami hutan rawa gambut, yang saat sekarang semakin terancam dan bahkan semakin sulit mempertahankannya, karena sebagian besar telah menjadi kawasan budidaya dengan gambut yang sangat kering, terbakar, dan mengalami penyusutan (shrinkage).   Sejak tiga tahun lalu, dimulai dari tahun 2009, keterlibatan institusi pendidikan, seperti Universitas Riau, dan Universitas Kyoto, Jepang melakukan penelitian intensif, terutama di hamparan gambut blok Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis yang mengkombinasikan berbagai disiplin ilmu, aspek sosial-ekonomi, biodiversitas-ekologi, iklim dan hidrologi, dan restorasi.   Pembangunan Sundak Research Shelter, dan Pangkalan Bukit Research Shelter di dalam kawasan hutan, hasil kerjasama Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau, Universitas Riau (Unri), Universitas Kyoto Jepang, Kelompok Masyarakat Desa Temiang yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Hutan dan CTPRC Indonesia, menjadi momentum penting bagi upaya-upaya meningkatkan aktifitas penelitian dan pelibatan masyarakat tempatan dalam mempromosikan konservasi hutan gambut dengan melibatkan peran serta masyarakat.   Selain itu beberapa kegiatan pemberdayaam masyarakat juga dilaksanakan sejak tahun 2010, seperti model desa konservasi, yang dilaksanakan oleh BBKSDA Riau, Biovillage oleh LIPI, dan Penanaman Jelutung oleh Sinar Mas Grup-ASKUL-PILI, dan rencana rehabilitasi oleh BBKSDA Riau.  Sebagai upaya terus mempromosikan usaha-usaha konservasi gambut khususnya di cagar biosfer blok bukit batu, dan memberikan dukungan rencana ekspos dan penjajakan ekowisata Pembantu Rektor IV Unri, Ir Adhy Prayitno, dan Drs Rahmat MT, pekan kemaren beserta tim melakukan kunjungan dan melihat langsung kondisi terkini gambut di suaka margasatwa Bukit Batu, mengadakan pertemuan dan diskusi dengan masyarakat dan kepala Desa Temiang, yang juga dihadiri perwakilan perusahaan grup Sinar Mas, yang beroperasi di blok hamparan gambut bukit batu.(melati-gsj/dac)

Sosialisasi GSK Lakukan Wisata

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu merupakan  cagar biosfer ke-7 di Indonesia yang satu-satunya berada di Sumatera. Eksotisme dan keberagaman sumber daya yang begitu mendominasi, hubungan antara alam dan manusia yang harmonis menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Sehingga pencanangan kawasan ini menjadi wisata alam tampaknya tak dapat terhindarkan.
 Berbagai elemen masyarakat baik daerah, kota, bahkan mancanegara menjadikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-bukit Batu objek observasi dan penelitian.
Hutan rawa gambut yang terbentang, satwa-satwa terlindungi yang mendiami kawasan ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pengelola pusat dan daerah untuk mengawasi  para peneliti, masyarakat, dan berbagai pihak lainnya yang memasuki kawasan ini.   
Hal ini dilakukan agar elemen masyarakat yang berkepentingan dapat menjalankan tugasnya tanpa menganggu aktivitas yang ada didalamnya dan bersama-sama menjaga keberlangsungan konservasi.
Untuk itu, menjadikan kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu sebagai wisata alam terbatas adalah kebijakan mulia dan juga solusi untuk melestarikan keberlangsungan satwa dan alam yang ada didalamnya.
Dengan ini, masyarakat dapat menikmati panorama keindahan alam yang asri dan dapat melakukan observasi  untuk pengembangan pengetahuan dengan aman. Ini juga merupakan langkah konkret dan harapan terdepan untuk mempromosikan kawasan ini ke kancah dunia sebagai wisata alam yang patut dikunjungi. (melati-gsj)

Senin, 01 Oktober 2012

Pepohonan Tua Penunjang Keanekaragaman Hayati

SEPANJANG sungai memasuki kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, pemandangan alami sangat jelas terlihat. Ada yang khas di tepian sungainya, selain ada rasau dan bakung, pepohonan tua nan tinggi juga mendominasi kawasan tersebut.
Pohon berumur puluhan tahun itu jenisnya beragam. Ada meranti, bintangur, balam, suntai, punak ramin, arang-arang, pasir-pasir, rengas, pulai, medang, kelat dan masih banyak lagi.
Selain memperindah kawasan tersebut sekaligus memberikan kesan garang, pepohonan tua tersebut ternyata memiliki berbagai macam fungsi. Diantaranya adalah menjadi tempat tinggal ataupun tempat singgah bagi beberapa hewan yang tinggal di kawasan Cagar Biosfer tersebut.
Hewan-hewan yang biasa ditemui berada di pepohonan tersebut juga bermacam-macam. Ada kengkareng, rangkong, beberapa jenis burung-burung keluarga pycnonotus dan tupai. Beberapa pohon tersebut menghasilkan buah yang ternyata juga menjadi pakan bagi para satwa tersebut.
Menilik dari fungsinya, keberadaan pepohonan tua tersebut ternyata menjadi salah satu faktor keseimbangan ekosistem hutan cagar alam tersebut. Sehingga alangkah sayang sekali jika sempat terjadi pembalakan liar. Akan kemana lagi para hewan itu harus mengungsi mempertahankan hidupnya. Untuk itu dibutuhkan berbagai pihak yang menjaga dan melestarikan tempat tersebut.
Demikian juga pemikiran tentang arti penting kawasan konservasi tersebut juga harus ditanamkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat tempatan. Sehingga keberlangsungan hidup, keanekaragaman hayati dan keaslian Cagar Biosfer tesebut dapat terjaga.(asrul-gsj/dac)