MERAUP RUPIAH DARI SILAIS DAN BAUNG

Ikan selais dan baung dapat dimanfaatkan sebagai komoditi. Kedua jenis ikan ini juga bisa dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi. Masyarakat Desa Tamiang Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis dan Desa Tasik Betung Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak, melihat potensi tersebut sebagai penambah pendapatan mereka. .

Sosialisasikan Cagar Biosfer Lewat Blog

CAGAR Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSK-BB) kini juga disosialisasikan melalui media internet. Tentunya di era kemajuan teknologi ini akses tercepat untuk mendapatkan informasi adalah melalui internet.

Tingkatkan Program Budidaya di Cagar Biosfer'

Suatu kawasan akan mempunyai kontribusi bagi manusia, apabila budidayanya baik. Karena dengan adanya budidaya itulah suatau kawasan dapat berkembang. Demikian halnya yang dilakukan oleh Sinarmas Forestry (SMF) terhadap Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB).

Riau Miliki Pengolahan Air Gambut Terbesar

BUKITBATU (RP)- APAG 60 atau Alat Pengolaan Air Gambut 60 yang dipasang di Tanjungleban, Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau merupakan alat pengolahan air gambut terbesar di Indonesia

SAM KEHUTANAN RESMIKAN SEKRETARIAT CAGAR BIOSFER

GSKBB - Staf Ahli Menteri (SAM) Kehutanan Dr Agus Mulyono meresmikan pemakaian Sekretariat Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB).

Senin, 26 Desember 2011

Tingkatkan Program Budidaya di Cagar Biosfer


     Suatu kawasan akan mempunyai kontribusi bagi manusia, apabila budidayanya baik. Karena dengan adanya budidaya itulah suatau kawasan dapat berkembang. Demikian halnya yang dilakukan oleh Sinarmas Forestry (SMF) terhadap Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB).

Rabu, 14 Desember 2011

Mahang, Objek Pembalakan Liar




Keanekaragaman hayati di cagar biosfer giam siak kecil-bukit batu (gsk-bb) sangat beragam. Satu di antaranya adalah pohon mahang. Namun sayangnya, keberadaan mahang kini menjadi objek pembalakan liar.

Penelitian Tugas Akhir di GSKBB





Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu tetap menjadi tujuan penelitian sesuai dengan fungsinya. Pertengahan Oktober lalu, mahasiswa jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau melakukan sebuah penelitian mengenai hewan yang hidup didalam tanah serta salah satu tumbuhan di cagar biosfer. Penelitian tersebut guna untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah untuk skripsi.
 Untuk memasuki kawasan GSK-BB, R. A. Diah Sulistio Ningrum,Diah biasa ia dipanggil terlebih dahulu harus meminta izin ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA). Sebab, memasuki kawasan cagar biosfer tersebut harus mematuhi prosedur. Dalam artian tidak boleh sembarangan, harus dengan izin terlebih dahulu.
            Selain melengkapi administrasi yang sudah ditentukan oleh BBKSDA Riau, mahasiswa biologi yang terdiri dari 6 orang itu merancang atau mempersiapkan keperluan mereka ketika berada di kawawasan cagar biosfer tersebut. seperti, mempersiapkan persediaan makanan, dan perlengkapan keamanan mereka.
            ”Kami memang merancang bahkan mempersiapkan dengan detail apa-apa saja yang akan kami perlukan saat berada di cagar biosfer. Selama 11 hari kami kan melakukan penelitian disana, berkemunkinan kami harus membawa persediaan makanan sebelum berangkat,” tutur Diah Mahasiswa Biologi FMIPA UR  tersebut.
            Ia juga menambahkan, bahwa tempat menginap mereka disana ya jauh dari masyarakat. Jadi, persiapan sebelum berangkat memang harus matang.
            Penelitian yang mereka lakukan sangat unik. Dengan tujuan untuk mengambil sample, mahasiswa semester tujuh FMIPA UR tersebut meneliti hewan-hewan yang hidup didalam tanah. Seperti cacing tanah, semut, rayap serta tumbuhan serasah (daun). Penelitian itu berlangsung di perbatasan Desa Temiyang.
            Mengingat di perbatasan tersebut hanya ada penginapan yang sudah disediakan khusus untuk para peneliti. Maka tidak satupun aktifitas masyarakat terlihat disekitar penginapan tersebut. Perjalanan yang mereka tempuh pun tidak menggunakan jalur darat. Melainkan menggunakan jalur air. Dan untuk mencapai lokasi-lokasi penelitian, mereka menaiki pompong.(pia-gsj)
           

Senin, 28 November 2011

Menderes, Masa Depan Di Pohon Karet



Kehidupan yang sustainable adalah kehidupan yang memiliki keseimbangan antara alam dan manusia. Hal tersebutlah yang kerap dilakukan oleh masyarakat di sekita Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Antara mereka dan alam (lingkungan) saling bergantungan. Baik dari segi pembangunan maupun perekonomian.
Contohnya dari segi perekonomian, terlihat jelas alam GSK-BB berperan penting. Karena begitu banyak hasil alamnya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satunya masyarakat yang berada di kawasan zona transisi. Sebagaian dari mereka memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam pohon karet.
Lahan seluas 304.123 Ha tersebut dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk meningkatkan potensi alamnya. Satu diantaranya dengan berkebun karet tadi . Nilai jual karet yang cukup tinggi akan menjadi cambuk kesuksesan mereka untuk terus mengembangkan serta mengelola perkebunan tersebut.
Selain itu, pendistribusian karet itu sendiri dipasarkan keluar daerah seperti Pekanbaru, Dumai, Duri dan sekitarnya. Sebab, diketahui bahwa kebutuhan akan bahan baku karet ini terus meningkat. Mengingat banyaknya produsen yang mengelola bahan baku karet ini untuk berbagai barang jadi, seperti ban mobil dan sepeda motor misalnya.
“Kami sangat mendukung masyarakat untuk mengembangkan serta mengelola hasil tersebut. Guna meningkatkan perekonomian mereka. Sebab, hal itu merupakan upaya mereka untuk ikut serta mengembangkan potensi alam GSK-BB,” tutur Yuyu Arlan Manager Flagship Concervation Sinarmas Forestry tersebut.
Namun, hal tersebut tidak terlepas dari kerjasama antara pihak swasta seperti Sinarmas Forestry (SMF) yang tidak mengecualikan siapa saja yang ingin turut serta mengelola perkebunan tersebut. Dalam artian, pihak SMF juga memberikan peluang lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar GSK-BB.
“Selain memberikan dukungan dari segi moril, kami juga senantiasa memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola perkebunan sebagai mata pencaharian mereka nantinya. Hal tersebut tentunya baik untuk perkembangan GSK-BB.” Tambah Manager Flagship SMF ini.(pia-gsj/new)

Kamis, 24 November 2011

Bermain Dengan Alam


Tumbuhan Rasau Yang Berada Di Tepian Tasik





Kunjungan APP Jepang ke Zona Inti GSK-BB, Sungai Mandau

Art in the GSK-BB

Air Hitam Yang Menawan Di Tasik GSK-BB



Pemanfaatan yang Lestari


Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) merupakan cagar biosfer ketujuh di indonesia yang satu satunya di inisiasi oleh pihak swasta yaitu PT.Sinarmas Forestry (SMF). Karena SMF menghibahkan sebagian dari lahannya sekitar 72.000 hektar lebih untuk menggabungkan dua Suaka Marga satwa yang ada di GSK-BB yaitu Suaka Marga Satwa Giam Siak dengan Suaka Marga Satwa Bukit Batu.

GSKBB merupakan kawasan yang unik. Sebab di dalamnya tedapat berbagai ekosistem. Di antaranya adalah hutan rawa gambut, tasik-tasik dan berbagai sumber daya alam lainnya. Semua itu berpotensi untuk mengembangkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan GSK-BB.

”pihak SMF juga bekerjasama dengan masyarakat untuk membudidayakan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai peningkatan perekonomian mereka,” ujar Penasehat Lingkungan SMF, Canecio P. Munoz. Lebih jauh pria keturunan Philipina ini juga mengungkapkan bahwa SMF menerapkan prinsip bisnis berdasarkan manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan bersama masyarakat di GSK-BB. Contohnya dengan menerapkan pengelolaan hutan lestari secara menyeluruh. Kemudian meningkatkan lingkungan sosial yang harmonis dan ramah lingkungan untuk menjamin legalitas asal-usul dan keberlanjutan sumber daya alamnya.

Dalam konsep pengelolaan sumber daya alam, masyarakat sekitar sudah memiliki kearifan lokal yang selaras dengan pemanfaatan yang lestari. Misalnya di kawasan Tasik Betung telah dikenal dengan konsep hutan simpanan. Yaitu hutan yang selalu di renewble ( di perbarui ) secara berkelanjutan.

Di kawasan penyangga, di luar konsesi hutan tanaman industri, sudah mulai masuk usaha tanaman komoditas yang monokultur berupa tanaman perkebunan. Selain itu ada juga pertanian  padi, ladang, perikanan serta usaha lainnya.

Kehidupan tradisional di dusun dusun di dalam kawasan inti sudah selaras dengan alam. Mereka umumnya melakukan pertanian subsisten dan nelayan musiman di wilayah tasik dan sungai-sungainya. Upaya sampingan adalah mengolah hasil hutan non kayu seperti madu dan karet.(fiky-gsj)

Senin, 21 November 2011

something :)

One of the animals that add to the wealth of biodiversity GSK-BB


Biodiversity GSK-BB

Rich in Natural Results
 
 

Natural beauty Tasik Betung

Betung tasik natural beauty in the core zones of biosphere reserves GSK-BB at dusk...



Harmonization of Natural and Human

Manusia dan Alam Bersahabat





Minggu, 20 November 2011

Contact Us for information


For you who want to know more information about the unique biosphere of Riau, please contact us, Ambassador biosphere reserves-Small Giam Siak Riau Province in the Rock Hill:
1.Andi Noviriyanti 08126851530
2.Asrul Rahmawati 085265837109
3.Melati Octavia 085271465473

And visit our office at

Komplek Kantor BBKSDA
Jalan HR.Soebrantas KM 8,5 Pekanbaru 104
Telp (0761) 63135

Our Green !

Keeping Riau's natural heritage to the World!
save our children by protecting the environment ..
Go Green:)

Komitmen Terhadap Konservasi


Salah satu bentang lahan yang diteliti oleh para ahli biologi dan ekologi diidentifikasi sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi adalah hutan dataran rendah dalam lansekap Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB). Lansekap GSK-BB ini mencakup berbagai tipe ekosistem yang unik, termasuk lahan basah, hutan rawa gambut, sungai dan danau, serta jenis tanah maupun sumber daya alam yang berpotensi mendukung kehidupan masyarakat lokal.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan dua kawasan konservasi yaitu Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Bukit Batu yang memiliki keanekaragaman hayati dan nilai konservasi yang tinggi. Namun hingga saat ini kedua Suaka Margasatwa tersebut dikhawatirkan akan menghadapi berbagai ancaman seperti pembalakan liar, penyerobotan kawasan hutan, kebakaran hutan, perburuan satwa liar.
Demi mengatasi hal tersebut pihak Sinarmas Forestry (SMF) berkomitmen terhadap konservasi benar-benar menjaga kawasan tersebut dengan menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah maupun masyarakat sekitar. SMF menerapkan prinsip usahanya berdasarkan manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dengan menerapkan pengelolaan hutan lestari secara menyeluruh, harmonis dengan lingkungan sosial dan ramah lingkungan, untuk menjamin legalitas asal usul dan keberlanjutan pasokan kayunya. Kelestarian alam tetap terjaga begitu juga dengan keanekaragaman hayatinya. Cagar biosfer sangat berperan penting bagi Riau ini.
”Dengan terjaganya kawasan lindung di Zona Inti Biosfer akan menjaga juga keperluan air sepanjang musim kemarau untuk hutan tanaman dan tanaman-tanaman budidaya sekitarnya dan kontrol banjir pada musim hujan, mengingat areal tersebut adalah hutan rawa gambut dalam, dan banyak tasik,” tutur Canecio P.Munoz, Environment Director Sinar Mas Forestry.  SMF berharap cagar biosfer pertama di Riau ini dapat berkembang dan tetap terjaga keseimbangan antara alam dan manusianya.
Agar lingkungan sekitar tidak rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. ”Berkaitan dengan pencitraan produk dari Indonesia yang di ekspor keluar negeri dan pencitraan produk brand perusahaan-komitmen konservasi menjadi bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) oleh group Sinar Mas. Di Zona Inti Biosfer GSK-BB di nilai sebagai high conservation value forest atau hutan bernilai konservasi tinggi yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang penting untuk pembangunan nasional dan kepentingan iklim global jadi perlunya kawasan tersebut dipertahankan dan dilindungi,” tutupnya.(pia-gsj)

Tabungan Dari Alam



Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) adalah satu-satunya cagar biosfer yang diinisiasikan oleh pihak swasta yakni Sinarmas Forestry (SMF). Pihak SMF sendiri berkomitmen terhadap konservasi, maka dari itu lahan seluas 72.255 Ha dialokasikan untuk menggabungkan 2 suaka margasatwa yaitu Siak Kecil dan Bukit Batu untuk menjadi suatu kawasan cagar biosfer. Dan pada akhirnya usulan SMF untuk menjadikan kawasan suaka margasatwa menjadi cagar biosfer disetujui oleh pihak pemerintah. Dan resmi 2 tahun lalu GSK-BB  menjadi cagar biosfer pertama di Riau.
GSK-BB ibarat nafas baru bagi Riau, potensi alamnya yang dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat disana menjadikan cagar biosfer ini semakin berkembang. “GSK-BB mempunyai potensi alam yang luar biasa, berbagai ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, hasil hutan yang bagus,  serta budidaya masyarakat terhadap potensi alam benar-benar membuat cagar biosfer tersebut memiliki keunikkan yang berbeda dari cagar biosfer lain,” tutur Herfita Staff Flagship SMF.
Masyarakat GSK-BB yang bekerja sebagai penderes karet juga salah satu mata pencaharian yang menjanjikan bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil karet mentah yang sudah diambil dari hutan, didistribusikan keluar GSK-BB untuk dikelola menjadi bahan baku pembuatan ban dan sebagai bahan baku berbahan karet lainnya.
“Biasanya mereka hanya menghasilkan produk mentahnya saja, misalkan karet tadi, mereka hanya menderes karet dari hutan dan setelah itu karet yang belum jadi apa-apa itu didistribusikan untuk dikelola lagi. Tidak hanya itu, mereka juga terampil membuat kerajinan yang berbahan dasar hasil alam. Seperti tenunan songket, keranjang, tikar. Dan jika dipasarkan, bisa meningkatkan ekonomi mereka sendiri,dalam artian potensi alam  itu menjadi tabungan bagi kelangsungan hidup mereka kedepannya” tutup Staff Flagship SMF berambut panjang tersebut.
Harmonisasi masyarakat terhadap alam GSK-BB menjadi sebuah tabungan hidup mereka dimasa depan nanti. Selain bermanfaat bagi Riau, cagar biosfer ini juga sangat bermanfaat bagi masyarakat yang mendiaminya. GSK-BB patut menjadi warisan alam Riau yang paling berharga dibalik kekayaan alamnya yang luar biasa. Sejauh ini, perkembangan cagar biosfer yang menyimpan banyak karbon ini telah terdeteksi dengan jelas, dengan adanya peningkatan budidaya masyarakat pada alamnya.(pia-gsj)

Giam, Menyimpan Nilai Ekonomi Dibalik Sejarahnya


            Jika mendengar Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) terlintas dalam benak pikiran kata giam hingga saat ini tidak banyak publik yang mengetahui hal tersebut. Seperti yang dketahui bahwa giam merupakan jenis pohon yang setara dengan meranti dan ramin, yang habitatnya di dataran rendah, hutan rawa, dan sempadan sungai.
            Vegetasi yang menutup hamparan bentangan hutan gambut yang sangat beragam beberapa diantaranya masuk dalam daftar yang dilindungi karena fungsi ekologis dan status konservasi, salah satu diantaranya adalah pohon giam ini. Sebelum cagar biosfer belum terbentuk, World Wide Fund (WWF) melakukan penelitian kawasan hutan bernilai tinggi di Bukit Batu, dengan adanya inisiatif dari Asia Pulp & Paper dan SinarMas(SMF) untuk menyatukan kedua suaka marsatwa yang ada dikawasan konservasi tersebut menjadi kawasan cagar biosfer. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pohon-pohon yang tumbuh dikawasan itu mempunyai nilai yang tinggi dari segi ekonominya, pohon giam ini merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang mempunyai potensi ekonomi yang baik.
“Dari sejarah kawasan bahwa terdapat dua kawasan hutan Suaka Margasatwa yaitu GSK-BB memiliki potensi keanekaragaman tinggi dan bentangan hutan rawa gambut dengan keindahan karakteristik danau – danau sebagai pengendali daerah aliran Sungai Siak Kecil dan rumah bagi kehidupan alam liar didalamnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pohon giam telah menjadi sebuah penunjukkan nama kawasan suaka margasatawa,” tutur Yuyu Arlan, Manager Flagship Conservation SinarMas Forestry tersebut.
Hal tersebut menunjukkan adanya fungsi lain dari pohon giam itu, selain memiliki nilai tambah perekonomian masyarakat disana, pohon giam juga menjadi alih fungsi sebagai penopang cagar biosfer GSK-BB. Sebab, namanya yang mendominasi lahirnya sebutan Giam Siak Kecil-Bukit Batu. ”untuk mengetahui lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan pohon giam tersebut diperlukan kajian ilmiah dan explorasi secara mendalam untuk mengidentifikasi keberadaan dan populasinya,” tutup manager flagship SMF tersebut.(pia-gsj)



Berawal dari Nama yang Sama


            Dibalik sebuah nama, pasti ada kata bagaimana nama itu disandang. Pun begitu dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) yang kini telah menjadi sorotan.
            Ada sebuah sejarah yang tersirat dibalik namanya yang unik tersebut. Giam Siak Kecil-Bukit Batu diambil dari nama dua suaka margasatawa yaitu Suaka Margasatwa Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu yang disatukan dengan menggabungkan sebagian alokasi SinarMas Forestry, yang bertujuan untuk mempersatukan kedua cagar biosfer tersebut.
            Selain itu, pemberian nama dua suaka margasatwa tersebut berasal dari nama dua hilir sungai yang mengalir disepanjang lanskap cagar biosfer tersebut. Namun, tidak sebatas gabungan kedua suaka margasatwa itu saja. Giam adalah nama sebuah pohon. Dimana pohon Giam tersebut yang tumbuh di kawasan cagar biosfer itu.
            ”Giam merupakan nama sebuah pohon yang memang ada di kawasan cagar biosfer tersebut. Namun dari pihak kami belum mengadakan riset atau penelitian mengenai pohon giam itu. Sehingga kami belum tahu pasti berapa banyaknya pohon itu atau bagaimana perkembangbiakkannya secara jelas,” kata Environment Director Sinar Mas, Canecio P. Munoz.
            Jenis pohon yang memiliki nama botanis Cotylelobium spp ini menyebar di berbagai daerah di Indonesia diantaranya Sumatera Utara, Riau (GSK-BB), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Selain itu, tinggi pohon dapat mencapai 30 meter dengan panjang batang bebas cabang 25 m, diameter dapat mencapai 80 cm, tinggi banir dua meter. Kulit luar berwarna kelabu, kelabu-coklat coklat muda, coklat sampai coklat tua atau merah, beralur dangkal, sedikit mengelupas.
            Pohon Giam ini kayunya sulit dikeringkan, lambat dan mudah pecah. Giam tumbuh dalam hutan rawa dengan tanah berpasir atau tanah liat yang kadang-kadang digenangi air tawar. Seperti halnya GSK-BB yang khas dengan rawa gambutnya yang menopang pertumbuhan pohon yang satu jenis dengan Dipterocarpaceae ini.
            Jenis ini dapat tumbuh didaerah dengan tipe curah hujan A pada dataran rendah sampai ketinggian 100 meter dari permukaan laut. Dibalik keunikkannya, pohon giam ini mempunya banyak sekali manfaat, diantaranya sebagai kayu bangunan, kayu perkapalan, lantai, bantalan, tiang listrik, tiang penahan jembatan. Cagar biosfer yang memiliki luas 705.279 Ha tersebut memiliki kekayaan alam yang berlimpah, dan pohon giam adalah salah satu kekayaan alam yang bisa dijumpai dikawasan GSK-BB. Sehingga nama Giam pun diambil untuk mengawali sebuah nama cagar biosfer pertama di Riau ini.
             ”Memang dari dulu, sejak pertama cagar biosfer itu ada nama Giam Siak Kecil-Bukit Batu tersebut disinyalir dari nama dua suaka margasatwa Siak Kecil dan Bukit Batu, yang tak lain berasal dari dua hilir sungai juga yaitu Sungai Siak Kecil dan Sungai Bukit Batu,” tutup Munoz, yang juga merupakan penasehat pengelolaan lingkungan Sinar Mas Forestry.(pia-gsj)


Air Gambut diolah Menjadi Air Bersih


Salah satu poin dari target MDGs (Sasaran Pembangunan Millennium) pada 2015 adalah memenuhi  layanan dasar kebutuhan manusia, salah satunya air bersih. Maka dari itu, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) membantu Pemerintah untuk mencapai target MDGs tersebut dalam bidang pelayanan air bersih bagi masyarakat marginal, termasuk masyarakat di daerah bergambut.
Karakteristik air gambut jika dilihat dari segi fisik memiliki warna kehitaman dan dari segi kimia memiliki tingkat kandungan organik yang tinggi dan keasaman yang tinggi. Hal ini membuat air tersebut tidak layak dikonsumsi. Maka, LIPI akan mengaplikasikan teknologi barunya yaitu alat yang dapat merubah air gambut menjadi air bersih yang layak digunakan.
Mengingat sebagian  besar daerah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu adalah bergambut, maka ketersediaan air bersih di daerah ini sangat minim. Ternyata masyarakat di daerah bergambut ini tidak memiliki akses lain untuk mendapatkan air bersih, mereka harus menggunakan air gambut tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.
Menurut penelitian, air yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi, seperti air gambut, tidak baik untuk dikonsumsi. Ini akan mempercepat pengkeroposan gigi dan tulang, khususnya tulang tengkorak.
Rencana LIPI terhadap lahan gambut yang ada di daerah Cagar Biosfer ini adalah meletakkan alatnya di salah satu lokasi yang sudah ditentukan sebelumnya. “Kami sudah lakukan survei sebelumnya. Untuk uji coba pertama kali, kami meletakkan alat ini di desa Tanjung Leban. Sembari alatnya disiapkan, kami sudah membuat pondasi untuk meletakkan alat ini. Mudah-mudahan pada Desember nanti sudah dapat berfungsi,” jelas DR. Ignasius D.A. Sutapa, M.Sc, sebagai Chemical & Environmental Technology Scientist, LIPI.
Dia juga menambahkan, satu unit alat ini bisa dipakai untuk 100 kepala keluarga, dengan rata-rata satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika alat ini bisa berjalan dengan baik, dan masyarakat merasa cocok, maka nanti akan ditambah untuk daerah-daerah gambut yang lain di kawasan Cagar Biosfer ini.(risky-gsj)



Energi Hijau dari Cagar Biosfer GSK-BB


Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik (Balitbangtik) Bengkalis sedang mengembangkan bahan bakar yang ramah lingkungan. Bahan bakar ini dinamakan Bioethanol. Bioethanol dihasilkan dari tanaman Nipah yang merupakan tumbuhan mangrove di muara Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis yang juga termasuk kawasan  Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Dari Bioethanol ini kemudian dikembangkan lagi menjadi minyak tanah dan biopremium. Masing-masing  menghasilkan gas buangan yang lebih aman dari hasil pembakaran, karena Bioethanol termasuk kedalam bahan bakar non-fosil.
Bioethanol didapat dari hasil penyulingan air nira tanaman Nipah. Nama ilmiah tanaman Nipah adalah Nypa fruticans Wurmb, dan diketahui sebagai satu-satunya anggota marga Nypa. Tanaman yang termasuk ke dalam jenis palem ini menghasilkan cairan nira yang berwarna putih seperi air susu. Kemudian air nira tersebut dipermentasi selama seminggu. Setelah itu barulah dilakukan penyulingan untuk mendapatkan Bioethanol.
Balitbangtik Bengkalis, yang juga turut serta dalam pameran yang diadakan di sela-sela perhelatan internasional, Workshop Kerjasama Selatan Selatan yang ke 2 di Pekanbaru pada 4-8 Oktober 2011 lalu, menunjukkan mobil yang telah menggunakan bahan bakar dari Bioethanol ini. Mobil tersebut telah dilakukan uji coba dengan menggunakan energi hijau Bioethanol. Didapat hasilnya lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan bahan bakar fosil, seperti premium.
“Proses pembuatan Bioethanol ini dilakukan oleh Balitbang dan dibantu masyarakat setempat, mulai dari pengumpulan air nira dari tanaman Nipah sampai selesai menjadi Bioethaol”, ujar Herman yang menjaga stand Balitbangtik Bengkalis.
Herman juga menambahkan dalam waktu dekat ini Balitbangtik Bengkalis dibantu Pemerintah  Pusat, melalui Kementrian ESDM, akan membangun pabrik di Lubuk Muda, Bengkalis, yang memproduksi Bioethanol.(risky-gsj)





Kunjungan Internasional



Giam Siak Kecil-Bukit Batu semakin menampakkan keberadaannya ditengah perkembangannya. Banyak antusias icon asing yang turut serta menjalin kerjasama untuk mengembangkan cagar biosfer Riau tersebut. seperti hal nya kegiatan “Second Workshop South South Cooporation” yang akan dilaksanakan pada tanggal 7-8 Oktober 2011.
“Pada tanggal 4 hingga 6 Oktober 2011 para tamu dari berbagai negara sudah samapi di Pekanbaru untuk mengadakan kegiatan pertemuan dengan Pemerintah Propinsi. Pada  tanggal 7 Oktober 2011 para tamu tersebut berkunjung ke Bengkalis dengan menginap untuk menyaksikan pertunjukkan kesenian daerah di Marina Beach Hotel, tidak hanya itu, para tamu pun mendapatkan jamuan makan dari Bupati Bengkalis di Gedung Cik Puan,” ujar Herfita Staff Flagship SinarMas Forestry tersebut. Sementara pada tanggal 8 Oktober 2011 para tamu dari tiga negara tersebut akan melanjutkan perjalanan ke Cagar Biosfer GSK-BB tambahnya.
Tanpa disadari begitu banyaknya partisipasi dari warga asing untuk bekerjasama dalam membangun cagar biosfer ke-56 dari 580 cagar bisfer yang ada di dunia dari 114 negara. Beruntungnya Riau memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Riau, Pihak Swasta, dan swadaya masyarakat tentunya.
Adapun kegiatan inti kunjungan perwakilan dari Negara Kongo, Brazil, dan Indonesia ini adalah untuk mengunjungi GSK-BB dan melihat langsung keanekaragaman Hutan Riau yang ada disana. Perjalanan tersebut menempuh jalur darat dari Pekanbaru dengan menggunakan bus VIP. Kegiatan dalam rangka kunjungan 3 negara tersebut akan menjadi momentum bagi Indonesia sendiri. Sebab, kunjungan tersebut diadakan di Provinsi Riau yang merupakan tuan Rumah PON 2012 mendatang. Selain menjadi tuan rumah PON, Riau juga menjadi Provinsi yang memiliki cagar biosfer yang pertamakali di dunia yang diinisiasikan oleh pihak swasta yaitu SinarMas Forestry.(pia-gsj)

Perjalanan Wisata Sembari Komunikasi dengan Alam


Giam Siak Kecil-Bukit Batu terletak diantara dua kabupaten yaitu Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis, serta bagian barat Dumai. Untuk menuju lokasi cagar biosfer pertama di Riau ini bisa menempuh jalur udara, namun jika ingin secara langsung melihat dan merasakan kearifan masyarakat dengan alamnya alangkah baiknya menggunakan jalur darat, selain berwisata menikmati keindahan alamnya, kita juga bisa dekat dengan masyarakat asli disana yang mayoritas bersuku melayu dan menganut agama islam.
Selain itu, kunjungan yang dilakukan melalui jalur darat akan terasa lebih dekat dengan suasana alamnya, sebab sepanjang jalan hamparan tanah gambut terlihat disisi kiri dan kanan jalan. “Kurang lebih empat jam perjalanan yang ditempuh lewat darat dari Pekanbaru menuju Perawang, perjalanan kembali dilanjutkan melewati Minas menuju Duri. Setelah itu barulah sampai di Zona inti cagar biosfer pertama di Riau tesebut,” ujar Yuyu Arlan, Manager Flagship Concervation Sinarmas Forestry. Bagi masyarakat Riau sendiri yang ingin berkunjung ke GSK-BB, bisa menempuh jalur darat dari berbagai alur.
“Dan jika ingin lebih cepat sampai lewat jalur Minas inilah, karena alurnya dekat dengan zona inti, jika yang ingn dikunjungi itu zona intinya,” tambahnya.
Kebanyakan masyarakat Riau masih kurang antusias berkunjung ke GSK-BB, namun tidak dengan turis atau warga asing dari luar negeri yang datang hanya untuk melihat langsung alam Riau yang masih sangat alami tersebut. penuh dengan keanekaragaman hayatinya dan harmonisasi manusia dan alampun masih sangat terjaga. Berbeda lagi alur yang akan ditempuh jika ingin berkunjung ke zona transisi ataupun zona penyangga. Karena memang letak masing-masing zona tersebut agak berjauhan. Namun sejauh ini, warga asing atau pendatang yangberkunjung untuk penelitian atau sekedar berwisata alam, mereka lebih memilih zona inti selain jarak tempuhnya yang lumayan dekat, kondisi keindahan alamnya pun bertambah dengan adanya Tasik-tasik yang kaya akan nilai ekonominya.(fiki-gsj)

Rumahnya Hewan Endemik dan Langka


Menyadari sebagai bagian dari rawa gambut wilayah ekologi Sumatera, Giam Siak Kecil, Bukit Batu (GSK-BB) memiliki sebuah habitat yang unik dan memainkan peran penting untuk membantu mempertahankan populasi spesies langka, terancam punah dan endemik. Sekitar 189 spesies tanaman, terdiri dari 113 keluarga dan 59 genus dicatat di daerah ini. Sebanyak 29 dari jumlah total spesies tanaman ini dikategorikan sebagai spesies yang dilindungi.

Daerah inti
didominasi oleh tipe hutan rawa gambut. Jenis tumbuhan yang telah dicatat di daerah ini termasuk Gonystylus bancanus (ramin), Palaquium leiocarpus (nyatoh), Durio carinatus (durian burung), Shorea teysmanniana (meranti bunga), Tetramerista glabra (punak).

Beberapa
spesies hewan kunci yang dicatat di daerah inti dan terdaftar sebagai spesies yang dilindungi dan terancam punah, termasuk dua spesies burung (Rangkong : Buceros bicornis dan Bangau Bluwok : Mycteria cynerea), empat Mamalia (Beruang Madu :Helarctos malayanus, Tapir : Tapirus indicus, Gajah Sumatera : Elephas maximus, dan Harimau Sumatera : Panthera tigris sumatrae), dua Reptil (Buaya sepit : Tomistoma schlegelii dan Buaya muara : Crocodylus porosus) dan satu spesies ikan terancam punah Scleropages formosus, juga dikenal sebagai arwana Asia.

Flagship Conversation Project Sinarmas Forestry sebagai pihak swasta yang juga bertanggung jawab untuk melestarikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu berencana akan melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk budidaya hewan endemik, yaitu ikan yang berada di area Giam Siak Kecil Bukit Batu tersebut.(risky-gsj/new)


Tasik-Tasik Unik

Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) terkenal dengan panorama tasik yang menawan. Di cagar biosfer GSK BB terdapat 14 tasik yang terletak di dua Suaka Margasatwa, yaitu Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Suaka Margasatwa Siak Kecil. Meskipun tasik-tasik tersebut memiliki nama-nama yang berbeda namun tasik-tasik tersebut hanya satu jenis saja.
Kekhasan dari tsik tersebut adalah warna airnya yang berwarna kehitaman seperti air teh. “tasik-tasik di GSK BB terdapat 14 dengan nama masing-masing tasik yang unik, tasik-tasik tersebut terdapat di Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Suaka Margasatwa Siak Kecil.
Meskipun tasik-tasik tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata, pihak pengelola tidak akan melepas predikat Suaka margasatwa sebagai objek wiasata. Karena suaka margasatawa itu hrus dilindungi, namun pihak pengelola akan mengembangkan area penyangga (buffer zone) sebagai objek wisata nantinya.” Ujar Yuyu Arlan yang merupakan manager flagship conservation cagar biosfer GSK BB.
Ada beberapa nama tasik yang unik seperti, Tasik Bungsu, Tasik Kemenyan, Tasik Betung, Tasik Air Hitam, Tasik Katilau dan Tasik Serai. ”nama-nama yang unik memang menarik untuk dijadikan objek wisata alam, namun keberadaan tasik-tasik yang terdapat di zona ini tersebut hanya digunakan sebagai pusat penelitian dan sebagai sarana pendidikan bagi siapapun yang ingin membuka wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tentang cara biosfer tersebut,” tutup Manager Flagship Conservation cagar biosfer GSK BB tersebut.(pia-gsj)




Kesinambungan antara Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan

Pada 2010 lalu telah dilakukan observasi di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu oleh Profesor Mizuno dari Kyoto University. Tepatnya pada dua lokasi yang ada di sana yaitu desa Tanjung Leban dan Dusun Bukit Sembilan.
Metode observasi yang dilakukan olehnya yaitu dengan melihat kondisi di sekitar lokasi. Serta dengan melakukan wawancara melalui berbagai parameter antara lain sejarah desa, aktifitas masyarakat, tingkat perekomian, kebutuhan dasar dan pengolahan sumber daya alam.
Menurut Profesor Mizuno, Dusun Bukit Sembilan ini merupakan topik yang unik untuk dikaji karena melihat kemampuan adaptasi masyarakat terhadap dua kondisi ekologi yang berbeda. Selain itu juga status kepemilikan lahan karena pemukiman tersebut berada dalam konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Sebagai bahan referensi Profesor Mizuno beserta rombongannya mengunjungi PT Wilmar di Dumai untuk melihat proses mekanisme pembuatan minyak sawit hingga pengolahaan sisa produksi. Juga mencari informasi tentang asal dari bahan baku untuk minyak sawit tersebut.
Hal lainnya yang dikaji adalah nilai jual buah sawit setiap kilogramnya.
Dan juga tentang ada atau tidaknya sumber buah dari perkebunan masyarakat, salah satunya dari Dusun Bukit Sembilan. (risky-gsj/new)


Pelepasliaran Macan Dahan

Macan Dahan Sumatera termasuk binatang yang langka dan terancam kepunahan. Oleh International union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist, dimasukkan dalam status konservasi “Terancam Punah” (Endangered). Juga diklasifikasikan dalam Apendix I oleh  Convention for the Trade on Endangered Fauna and Flora (CITES).
Populasi Macan Dahan Sumatera Neofelis diardi diardi lebih memprihatinkan, hanya tinggal sekitar 3.000 hingga 7.000 ekor. Langkanya Macan Dahan ini lebih disebabkan oleh berkurangnya hutan sebagai habitat tempat tinggal dan berburu mereka, akibat kebakaran hutan maupun pembalakan liar.
Selain itu juga dikarenakan oleh perburuan yang dilakukan manusia untuk mengambil kulit dan taringnya. Macan Dahan Borneo dan Sumatera, pemilik taring terpanjang yang baru teridentifikasi sebagai spesies baru pada tahun 2007 kini telah terancam kepunahan. Apakah spesies endemik pulau Kalimantan dan Sumatera ini teridentifikasi hanya untuk punah dan hanya meninggalkan sebuah nama?
Menjawab pertanyaan tersebut, maka di Riau memiliki hutan alam rawa gambut seluas  178.000 hektare di dalamnya terdapat dua status kawasan konservasi yaitu Suaka Margasatwa yang membentuk lansekap yang solid sebagai jalur teritorial satwaliar, memiliki  kebutuhan pendukung habitat satwa liar antara lain  sumber air, hewan buruan bagi satwa predator seperti babi hutan, napu, primata dan tegakan-tegakan pohon penghasil buah.
Kawasan itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu.  BKKSDA YPHS, dan Flagship Conservation-Sinarmas Forestry merekomendasikan area inti Cagar Biosfer dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran/relokasi bagi satwaliar termasuk macan dahan yang tertangkap.
Proses evakuasi mengikuti prosedur dengan mengutamakan keselamatan baik tim maupun satwaliar tersebut. Di mana aksesbilitas melalui sungai bukit batu mengunakan perahu kayu “pompong” dengan jarak tempuh dua jam. begitu tiba dilokasi tim segera melakukan pelepasliaran dengan teknik catrol up door,  dengan tujuan keselamatan,  kedua sisi dekat pintu keluar dipasang 2 camera trap untuk dokumentasi dan akhirnya proses pelepasliaran itu berjalan dengan lancar.(Risky-gsj/new)




Jumat, 18 November 2011

Survei Potensi Perairan dan Identifikasi Ikan

 
Sungai Giam Siak Kecil merupakan salah satu kajian potensi perairan dari perairan yang ada di provinsi Riau, sebelumnya telah dilakukan penelitian di perairan sungai Tapung, Mandau dan Siak. Terdapat 4 lokasi yang dijadikan lokasi sampling yaitu Tasik betung, Tasik Serai, Tasik Katialau dan Tasik air hitam, setiap lokasinnya terdapat 4 stasiun pengamatan. Adapun parameter dalam pengambilan sampling antara lain, identifikasi jenis ikan, pengukuran kualitas air berupa kedalaman, lebar, kecerahan, pH, keasaman, kandungan oksigen, bentos, sedimen, plankton, Warring atau pengukuran serasah, dan nomurator atau responden nelayan.
Dalam  survei potensi perairan dan identifikasi ikan di GSK-BB ini digunakan beberapa metode. Pertama, identifikasi ikan mulai dari pendataan jenis-jenis ikan, identifikasi pakan alami melalui bedah organ pencernaan, dan pemberian cairan formalin untuk analisa laboratorium. Kedua, pengukuran kualitas air dengan pengambilan sampling tanah dalam tasik, air, sedimen yang kemudian diformalin untuk mengetahui kadungan mikrorganisme, plankton, oksigen dan tingkat keasaman melalui analisa.
Ketiga, metode warring atau perangkat jaring yang di pasangkan pada tegakan vegetasi sekitar inlet tasik, digunakan sebagai alat pengambilan sampling serasah yang ditinggalkan selama 3 s/d 4 bulan, kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan karbon. Dan keempat, nomurator istilah nelayan yang berada disekitar tasik yang dijadikan responden untuk bisa membantu dalam pengambilan sampling ikan selama 3-4 bulan difasilitasi alat bantu ember dan formalin untuk penampungan ikan.
Hasil kegiatan sampling  tahap pertama  di empat lokasi Tasik yaitu Serai, Betung, Katialau, Air hitam berdasarkan parameter pengukuran terdapat berbagai jenis ikan antara lain Tapah dengan nama latin wallago attu, Gabus, Toman dengan nama latin channa spp, Serandang, Buju, Baung, Kepar dengan nama latin ballontia hasseltii,Tembakang, Pantau, Sepat mutiara, Selais dengan nama latin kriptoterus macrocepalus, dan lainnya. Pada penelitian ini juga diketahui ph air, kedalaman dan kekeruhan air, hingga vegetasi sekitar.
Melihat kondisi perairan sungai siak kecil melalui karakteristik setiap tasik-tasik dan kearifan masyarakat terhadap pemanfaatan sumber protein akan memberikan nilai positif bagi kelangsungan hidup dan ketersediaan sumber perikanan. Di satu sisi masyarakat tidak mengeksploitasi sumber protein, terbukti dengan tetap menerapkan penggunaan alat tangkap sederhana seperti bubu, lukah dan kajur, namun kondisi sungai dan tasik terpengaruh oleh pasang surut air laut ketika musim kemarau beberapa tasik mengalami kekeringan terakhir terjadi pada bulan Maret 2009, kondisi ini sangat mengkhawatirkan terhadap habitat ikan, yang seharusnya ikan mencari daerah lebih dalam (lumbung) untuk memijah, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk panen raya sehingga ketersediaan ikan bisa terancam. Kesimpulan dari kegiatan ini merekomendasikan beberapa tasik yang nantinya dijadikan sebagai suaka perikanan berfungsi sebagai daerah lindung untuk tempat pemijahan dan perkembangbiakan ikan dimana ketika musim kering terjadi daerah tersebut bisa mendukung ketersediaan ikan. (risky-gsj/new)


Kayu Sebagai Bahan Bakar Tungku Tanah

Kebiasaan masyarakat yang menempati Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) memberikan gambaran kesederhanaan hidup dengan alam. Sebab, keharmonian mereka dengan alam dapat kita lihat dari cara mereka yang tidak merusak alam. Misalnya saja dalam hal memasak, mereka tidak menggunakan kompor dengan bahan bakar minyak apalagi menggunakan kompor gas, tetapi mereka menggunakan tungku yang mereka buat dari tanah. Sehingga tidak akan merusak lingkungan tempat tinggal mereka.
            Karena bahan bakar utama yang digunakan berupa kayu, menurut salah satu sumber,”diasumsikan nilai konversi energi 1 ton kayu bakar  adalah 2,3 SBM, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar sebagai bahan bakar utama dalam menggunakan tungku tanah tersebut meningkat 4% setiap tahunnya. Bahan bakar yang sering digunakan oleh masyarakat biasanya adalah kayu jenis akasia, sedangkan 1 batang akasia menghasilkan 81,45 kg  kayu bakar  kering. Kalau konsumsi kayu bakar dibatasi dengan alasan kerusakan lingkungan, berarti tekanan krisis minyak tanah bakal berlipat ganda dan tampaknya bukan pilihan yang bisa diterima saat ini mengingat besarnya porsi tambahan minyak tanah,briket batubara atau LPG yang harus disediakan sebagai konversi 71,5% penggunaan kayu bakar. Karena alam dan manusia saling bergantungan, untuk kelangsungan penggunaan tungku tersebut, pilihan yang lebih logis adalah penghematan konsumsi kayu bakar dengan cara menaikkan efisiensi penggunaan dan menata secara lebih teratur masalah penyediaan pasokan kayu bakar yang dapat berjalan beriringan dengan perbaikan lingkungan,”jelas sumber tersebut.
            Masyarakat GSK BB menggunakan tungku tanah yang terbuka dengan membuat lubang ditanah, pada tungku terbuka yang biasa digunakan hanya 5%-20% panas yang dihasilkan oleh pembakaran digunakan untuk memanaskan alat masak, sisanya terbuang ke lingkungan terbuka. Penggunaan tungku kayu bakar ini tidak hanya populer dikalangan masyarakat GSK BB, tetapi oleh orang luar salah seorang yang mengembangkan disain tungku kayu bakar adalah Rocket Stove (Dr. Larry Winiarski) yang menggunakan isolator panas di ruang bakar dan pengaturan suplai udara yang lebih baik, disain ini membuat temperatur pembakaran lebih tinggi dan lebih bersih. Temperatur pembakaran yang lebih tinggi juga menaikkan kecepatan perpindahan panas ke alat masak sehingga lebih banyak panas yang bisa dimanfaatkan.Efisiensi perpindahan panas juga sangat dipengaruhi oleh jumlah luasan alat masak yang terpapar panas, penggunaan selubung(skirt ) di sekeliling alat masak dapat memaksa aliran panas hasil pembakaran untuk menyentuh lebih banyak bagian alat masak, karena berada ditempat terbuka,panas dari tungku tersebut tidak merusak lingkungan dan aman digunakan.  (pia/gsj/news).


Santai, Memancing di Tasik

Aktivitas masyarakat GSK BB tak jauh dari alam. Selain menganyam rotan, menyalai ikan hasil tangkapan, menderes karet, memancingpun merupakan sebuah budaya. Budaya yang berawal dari sebuah kebiasaan, karena masih menghargai peradaban, hubungan masyarakat dengan alam begitu tergambar. Masyarakat biasa memancing diwaktu senggang, hanya untuk melepas penat. Namun, jika mereka ingin menangkap ikan untuk kebutuhan makan atau untuk dijual, mereka menggunakan alat penangkapan ikan berupa lukah yang terbuat dari bambu. Berbeda saat dengan memancing, mereka hanya menggunakan mata kail dengan batangan bambu kecil.
Sembari santai dan menghabiskan waktu, kegiatan masyarakat GSK BB berbilai positif. Memancing bukanlah hal yang luar biasa, karena di kota pun masyarakat biasa memancing di kolam pancing. Berbeda suasananya dengan masyarakat GSK BB yang memancing di tasik-tasik, suasana memancing dekat dengan alam membuat keharmonisan mereka dengan alam semakin saja. Sebab, mereka tidak merusak alam dengan menggunakan racun atau bahan kimia yang berbahaya. Bahkan jika dibandingkan dengan masyarakat yang memancing di kota, mungkin terbiasa memancing menggunakan alat-alat atau umpan pancing yang modern.
Selain hasil pancingan bisa untuk dimakan, kebiasaan tersebut juga menjalin silaturrahim antara manusia dan alam. Tanpa dipikir, secara langsung menghargai alam dengan menggali hasil alam yang ada merupakan sesuatu yang luar biasa manfaatnya. Kehidupan masyarakat GSK BB menggambarkan kesederhanaan, bila dipandang sekilas, perlengkapan, peralatan, alat-alat pekerjaan serta bangunan mereka menggunakan hasil alam. Hal itu mencerminkan begitu besarnya manfaat lam jika digunakan sesuai kebutuhan dan tidak merugikan.
Namun, kebiasaan memancing ini hanya dilakukan oleh masyarakat yang umumnya sudah berumur, karena memancing adalah hal yang bisa mereka lakukan disela masa tua mereka untuk mengisi waktu santai di sore hari. Menggunakan peralatan memancing yang sederhana, dan santai menjelang waktu sore habis diatas sampan kayu. (pia-gsj/new)


Rawa Gambut

Lahan gambut dulu tidak diperhatikan, sekarang lahan gambut menjadi idola banyak kalangan, dari pemerintah, LSM hingga pengusaha. Catatan Greenpeace, suatu organisasi lingkungan global,  total gambut di Indonesia ada 42 juta hektar alias 10 persen dari total gambut dunia. Di dalam 10 persen tersebut tentu termasuk lahan gambut yang ada di Giam Siak Kecil – Bukit Batu, Riau.
Biomassa di rawa gambut diketahui memiliki kandungan unsur karbon yang tinggi dan sejauh rawa gambut itu lestari, tentunya tidak ada kekhawatiran bahwa unsur karbon itu terlepas mempertinggi kandungan karbon di atmosfer yang menyumbang pada pemansan global. Apakah rawa gambut Giam Siak Kecil – Bukit Batu akan tetap lestari?
Secara keseluruhan ancaman itu telah dan masih ada. Citra satelit menunjukkan sejak tahun 1985 hingga tahun 2002, tutupan hutan di wilayah Giam Siak Kecil telah merosot dari sekitar 600.000 hektare menjadi kira-kira 350.000 hektare. Bagaimana dengan keadaan sekarang?
Ekosistem hutan rawa gambut di kawasan Suaka Margasatwa GSK sebagian besar telah mengalami gangguan baik penebangan liar, maupun perambahan lahan untuk pembukaan ladang dan pemukiman. Laporan LIPI (2007) menyebutkan bahwa wilayah Blok Tasik Betung, sebagian besar hutan rawa gambutnya sudah merupakan bekas tebangan liar. Sisa tegakan jenis primer hutan rawa gambut umumnya terdiri atas jenis-jenis tidak komersial dan berukuran relatif kecil. Hal ini kontras dengan ekosistem hutan rawa gambut kawasan konsesi PT Arara Abadi di Blok Bukit Batu yang tidak dikonversi masih relatif lebih baik. Penandanya adalah masih dijumpainya beberapa jenis utama yang berukuran cukup besar.
Perambahan terhadap hutan rawa gambut menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh badan pengelola cagar biosfer. Tindakan-tindakan di lapangan sering kali diikuti cara informal yang lebih berhasil daripada pendekatan formal. Badan pengelola yang mengikutsertakan setiap pemangku kepentingan diharapkan mempu menjembatani solusi.
Pelestarian ekosistem ini bukan hanya melindungi satwa genting, tetapi sekaligus menjadi penyimpan cadangan karbon yang cukup besar di wilayah Riau. Sedikitnya terdapat 7,3 giga ton karbon di kawasan inti cagar biosfer. (pia-gsj)





Kerajinan Rotan Roda Masa Depan


Perekonomian tidak hanya diukur dari pengelolaan dan penataan sumber daya manusianya. Tetapi juga dilihat dari sumber alamnya. Budidaya rotan memang menjanjikan. Sebab, tanaman yang satu ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sepintas rotan memang terlihat seperti tumbuhan yang tidak ada nilai jual, tetapi jika diolah dengan baik, rotan akan menjadi sebuah karya yang bisa meningkatkan perekonomian masyarakat.
Dunia mengenal Indonesia sebagai negara penghasil rotan terbesar di dunia. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia. Sisa pasar diisi dari Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh. Sekitar 300 dari 600 jenis rotan dunia berasal dari Indonesia. Sebagian besar rotan berasal dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, termasuk hutan GSK-BB. Namun, sebagian kecil rotan juga dibudidayakan oleh masyarakat lokal. Mereka adalah Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan KalimantanTimur.
Tidak hanya masyarakat lokal di Kalimantan, di Giam Siak Kecil Bukit Batu, sebagian masyarakat juga membudidayakan tumbuhan ini. Rotan bukanlah tumbuhan yang asing terlihat di kawasan inti Cagar Biosfer. Masyarakat biasa mengolah rotan menjadi anyaman seperti tikar dan keranjang rotan. Selain itu, rotan juga memiliki manfaat besar bagi industri mebel. Rotan merupakan tumbuhan yang memiliki habitus memanjat.
Batang rotan biasanya langsing dengan diameter 2-5 cm, beruas-ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang, keras, dan tajam. Duri ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari herbivora, sekaligus membantu pemanjatan, karena rotan tidak dilengkapi dengan sulur. Suatu batang rotan dapat mencapai panjang ratusan meter. Batang rotan juga mengeluarkan air, jika ditebas, airnya dapat digunakan sebagai cara bertahan hidup di alam bebas.
Masyarakat Giam Siak Kecil Bukit Batu mengolah rotan tersebut dengan cara sederhana, yaitu mengawetkan rotan melalui pemasakan dengan minyak tanah bagi rotan yang berukuran besar dan  pengasapan bagi rotan yang berukuran sedang. Pengelolaan rotan ini, biasa dilakukan oleh kaum ibu-ibu, karena kaum ibu dominan dalam hal menganyam untuk membuat kerajinan yang memiliki kreatifitas dalam seni..
Pengelolaan rotan yang dimanfaatkan untuk menopang perekonomian akan berdampak positif dimasa depan. Sebab, semakin tinggi kreatifitas masyarakat dalam mengelola rotan, akan mendongtkrak perekonomian masyarakat. (pia-gsj)


Ardisia sp Si seduhan mulas


“Banyak baca, banyak tahu”. Slogan itu masih berlaku di era globalisasi saat ini, karena memang semakin majunya bidang tekhnologi semakin jauhnya kehidupan masyarakat dengan konsep alam. Semua yang dilakukan menggunakan mesin, baik dari segi pembangunan dan pendidikan. Sampai-sampai dalam bidang pengobatan pun menggunakan tekhnologi. Dan tanpa diimbangi dengan pengetahuan membaca, maka kita tidak akan tahu bahkan tidak mau tahu akan bahaya dari penggunaan tekhnologi dalam jangka panjang, dan jika kita banyak tahu tentunya hal itu berawal dari keinginan kita untuk mencari tahu “apa sih Ardisia sp itu?”.
Konsep alam memang harus kita terapkan dalam kehidupan saat ini, karena banyak sekali manfaat yang luar biasa bagi kita. Tuhan YME menciptakan alam ini dengan fungsinya masing-masing, demikian hal nya cagar biosfer GSKBB yang tidak pernah habis kekayaan alam yang ada didalamnya. Selain anggrek yang bisa meredakan demam, cagar biosfer ini juga menyimpan jenis tumbuhan lain yang sama  memiliki manfaat bagi kesehatan kita yaitu Ardisia sp.
Ardisia sp juga merupakan tumbuhan hias, dan kini pun masih banyak kita jumpai di setiap sudut rumah. Karena tanaman yang satu ini mudah dirawat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Di cagar biosfer, tumbuhan ini hidup sedikit jauh dari sumber air. Dan banyak kita jumpai dipekarangan pemukiman masyarakat. Sebab pola hidup tumbuhan yang satu ini cenderung ditempat yang agak kering. Tanpa disiram pun tumbuhan ini akan tetap tumbuh, karena memang tumbuhan yang satu keluarga dengan Myrsinaceae ini tahan terhadap cuaca kering.
Banyak hal yang tidak kita tahu tentang botani yang satu ini. ardisia sp memilki 3 genus yang masing-masing genus memiliki fungsi yang berbeda bagi kesehatan kita. Yang pertama ada Ardisia colorata, seduhan daunnya dapat digunakan sebagai obat mulas. Kedua, Ardisia humilis, tumbuhan daunnya bisa digunakan sebagai obat kudis. Tidak hanya itu, buah dari Ardisia humilis ini juga bisa digunakan sebagai obat cacing. Dan yang ketiga, ada Ardisia laevigata, daun mudanya bisa dilalap. Tumbuhan yang bagus sebagai hiasan juga bagus bagi kesehatan. Hemat biaya juga tidak berbahaya karena alaminya.
Masyarakat yang tinggal di GSKBB biasa menggunakan tumbuhan-tumbuhan yang telah diketahui manfaatnya bagi kesehatan mereka. Tidak jarang mereka terserang penyakit karena memang mereka benar-benar memanfaatkan sumber alam CB sebagi penopang kelangsungan hidup mereka.



Ardisia sp: Tumbuhan dengan tiga fungsi kesehatan.

Keanekaragaman Hayati GSK-BB


Hutan rawa gambut memang menjadi primadona di cagar biosfer giam siak kecil-bukit batu. Namun, sadarkah kita begitu banyaknya kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat didalamnya. Sejauh ini, keanekaragaman hayati yang ada di cagar biosfer sudah menjadi aset yang patut kita banggakan sebagai masyarakat Riau. Sebab, begitu banyak jenis tumbuhan dan pohon yang beraneka ragam yang tumbuh menghiasi lahan seluas 705.279 Ha tersebut.
Keanekaragaman Hayati Suaka Margasatwa Bukit Batu dari hasil survey LIPI menunjukan terdapat bermacam jenis pohon berkayu di areal inti seperti kempas (Koompasia malacensis), Meranti batu (Shorea uliginosa), Meranti bunga (Shorea teymanniana) Punak (Tetrameristra glabra), Durian burung (Durio carinatus), Bintangur (Calophyllum soulatri) )jika ingin mencoba tracking kita bisa melihat jenis tanaman yang masuk daftar red list IUCN yaitu Ramin (Gonystilus bancanus ) protected, kantong semar (Nephentes spp).
Dari berbagai keanekaragaman hayati yang paling dominan adalah tanaman ramin. Selain menjadi tanaman yang masuk daftar red list IUCN, ramin merupakan tanaman yang paling mudah dijumpai jika kita berkunjung ke cagar biosfer GSK-BB. Beragam jenis tanaman yang tumbuh menjadi aset yang harus kita jaga. Maraknya ilegal logging memang menjadi sebuah motivasi bagi kita untuk berupaya menjaga keanekaragamn hayati yang terdapat di Giam Siak Kecil-Bukit Batu.
Selain pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, kita juga akan menjumpai kantung semar dan jamur yang banyak tumbuh di kawasan cagar biosfer. Suburnya tanaman di kawasan tersebut didukung oleh kondisi fisik alamnya yang tropis dan dekat dengan sumber air. Banyak sekali manfaat dari tanaman tersebut, selain digunakan sebagai penopang produksi kertas dari kayu yang dihasilkan, juga difungsikan sebagai penyerap air dan sebagai rumah bagi masyarakat yang tinggal di Giam Siak Kecil-Bukit Batu tersebut.
Jika kita hanya memandang sekilas keragamannya, fauna yang berada didalamnya juga menjadi aset alam yang sangat membanggakan bagi masyarakat Riau. Kelangsungan hidup masyarakat yang bermukim di Giam Siak Kecil Bukit Batu, selain memanfaatkan tanaman yang ada didalamnya, hewan yang berada di kawasan cagar biosfer juga merupakan sumber energi bagi mereka, karena ada beberapa hewan yang mereka jadikan sebagai konsumsi seperti labi-labi. Tidak hanya labi-labi yang menjadi pasokan makanan bagi mereka. Berbagai jenis ikan juga menjadi sumber pendapatan bagi mereka berupa: Baung, Kepar (Ballontia hasseltii), Tuakang, Gabus, Soindang, Toman (Channa spp) dan sang perimadona yaitu ikan Tapa (Wallago attu) karena nilai jual relatif mahal dan kelezatan dagingnya mengalahkan rasa ikan jenis lainya. Permintaan akan ikan sungai cukup tinggi, tak jarang pengepul dari luar daerah datang untuk mendapat pasokan ikan segar yang akan di distribusikan ke pasar-pasar di Pekanbaru. Keanekaragaman hayati itulah yang membuat Giam Siak Kecil Bukit Batu semakin dikenal oleh masyarakat dalam maupun luar negeri.